11 September 2009

Cacat Bukan Halangan


http://images.uulyrics.com/cover/a/andrea-bocelli/album-the-best-of-andrea-bocelli-vivere.jpg

Sambil mendengarkan Andrea Bocelli menyanyi, sore ini aku iseng membuka biografi hidupnya di Wikipedia. Lahir di Lajatico, Tuscany, Italy, tahun 1968, dia ternyata dari kecil memang sudah menderita kelainan di matanya, glaukoma. Suatu kelainan tekanan dalam bola matanya, yang membuatnya pelan-pelan kehilangan penglihatan. Dia menjadi buta sama sekali pada suatu kecelakaan saat main bola.

Dari kecil dia sudah menyenangi musik. Mulai usia enam tahun, belajar piano, sebelumnya flute, saxophone, trumpet, trombone, harp, guitar, dan drum … woowww. Kita saja yang normal nggak sesemangat itu ya belajarnya hehehe … Dia selalu diminta menyanyi di berbagai pertemuan keluarga. Memenangkan kompetisi The Margherita d’Oro di Viareggio dengan O Sole Mio pada usia empat belas tahun.

Yang lebih hebat lagi, walaupun tuna netra (tidak bisa melihat), dia bisa menyelesaikan kuliahnya dan menjadi seorang pengacara di University of Pisa. Sampai saat ini sudah memenangkan berbagai penghargaan dalam berbagai kompetisi internasional dan menjadi salah satu ‘Best Italian Singer’ dan ‘Best Classical Interpretation’. Waaahhh hebat banget ya !

Jadi ingat waktu aku masih bekerja di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Semarang. Kepala sekolah Sekolah Luar Biasa (SLB) di sana, sangat bersemangat. Beliau sering mempromosikan anak-anak didiknya, beberapa di antaranya anak tuna netra. Mereka difasilitasi untuk membuat pertunjukan di mal, menyanyi, main keyboard, sampai membuat album rekaman sendiri lho. Jangan salah, mereka nggak minder dengan kemampuannya yang terbatas, justru sebaliknya sangat percaya diri dengan memperlihatkan sisi lain kelebihan yang mereka miliki.

Masa-masa itu, sungguh sangat berharga bagiku. Dapat mengenal orang-orang yang dengan tulus, mengabdikan dirinya buat mereka yang punya kekurangan fisik. Dapat ikut merasakan dan mengetahui beratnya hidup yang harus dijalani mereka yang menjadi dan berhubungan dengan anak yang berkebutuhan khusus.

Sebagian guru di SLB dan YPAC Semarang juga ‘lulusan’ sana. Kebanyakan dari mereka menderita polio saat kecil (saat masih banyak kasus tersebut). Sekarang sih katanya sudah nggak ada, berkat keberhasilan program imunisasi dasar pemerintah kita. Polio tidak mempengaruhi kepandaian seseorang, hanya kemampuan fisik mereka saat berjalan atau harus melakukan pekerjaan yang butuh ketrampilan yang halus.

Di sana ada tempat-tempat khusus yang diperuntukkan untuk terapi fisik, bicara, konsentrasi, musik, sampai bina mandiri agar anak-anak tersebut mendapat bekal ketrampilan untuk dapat hidup mandiri di masyarakat. Untuk mengerjakan aktifitas sehari-hari yang sederhana saja, seperti berdiri, berjalan, duduk, makan, ke kamar mandi, memakai baju dan celana sendiri, belum tentu mereka bisa. Belum lagi setelah mereka pubertas, karena kekurangannya, mereka lebih sulit mengontrol kebutuhan biologisnya dibanding orang normal. Lucu-lucu ceritanya, ada yang pacaran di bawah bangku, begitu guru SLBnya meleng hahaha … Ada yang patah hati, sampai sering melamun, ‘mellow’ berhari-hari, gara-gara surat cintanya nggak dibalas. Gimana mau dibalas, wong yang dikirimi artis terkenal. Badan boleh besar, tapi jalan pikiran dan kelakuan masih anak-anak sekali. Kalau tidak dijaga benar, mereka bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Bekerja dan berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus butuh kesabaran dan keahlian tersendiri.

Ada lho orang tua yang sampai tidak mau mengakui darah dagingnya yang cacat. Duhhh … padahal karena mereka juga, si anak lahir ke dunia. Mereka tidak minta dilahirkan, tidak meminta hidup dalam kecacatan. Anaknya tiga orang, cuma dibilang dua orang, yang pertama disembunyikan dari kenalan dan saudara karena cacat. Demi nama baik dan kehormatan. Menurutku justru orang tidak akan respek dengan cara mereka. Yah masih bagus, kalau mereka masih mau menyediakan sopir dan perawat untuk mengantar jemput si anak saat terapi di YPAC. Ini cerita beneran, dari mulut perawat si anak lho!

Di lain pihak , aku sangat salut dengan orang tua yang sanggup dengan sabar, mendampingi, dan mengantarkan anak mereka yang berkebutuhan khusus sampai dewasa. Terapinya bisa seumur hidup, apalagi kalau cacatnya berat dan ganda (misalkan buta dan tuli). Belum lagi kalau demam sedikit aja, pakai acara kejang … wuiihhh …

Aku sering ngobrol, mendengarkan curhat mereka, sambil merajut (salah satu hobiku) bersama di saat tidak ada pasien. Saling memberi semangat, menguatkan hati yang hampir putus asa harus menghadapi masalah hidup yang berat. Banyak kok anak berkebutuhan khusus yang bisa berhasil menjadi artis terkenal, pemain film, penyanyi, olah ragawan, dll. Tinggal bagaimana kita sebagai orang tua, pendidik, terapis, teman, saudara di sekeliling mereka, selalu memberi semangat, memupuk rasa percaya dirinya, menjaganya, serta memfasilitasi mereka. Kalau yang lain bisa, kenapa mereka tidak?

Mempunyai anak-anak yang normal, apalagi bagus dan pintar, merupakan anugerah yang tak ternilai.
Sudah sepatutnya kita selalu bersyukur atasnya, dan menjaga karunia ini dengan baik dan penuh tanggung jawab … Nggak terbayang deh, kalau kita harus menjadi salah seorang orang tua anak-anak tersebut.

Batam, 11 September 2009, 21.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar