29 Oktober 2009

Belajar Bersyukur dari Sekolah Kehidupan

http://www.screensaversonly.com/wallpaper/file25xktk2i31h4pdojwy32r2b55H_27615Baby%2015_8432.jpg

Beberapa hari ini banyak peristiwa yang terjadi di sekelilingku. Ada bayi yang lahir dengan cacat bawaan, sumbing di langit-langit mulut. Dari lahir sudah harus dipasang selang ke lambung untuk minum, supaya tidak tersedak. Entah bagaimana, dia akhirnya dibawa ke RS karena tersedak susu, masuk ke paru. Beberapa kali henti nafas sampai biru dan harus memakai mesin bantu nafas. Beberapa hari dirawat, keadaan sudah membaik, tapi dia belum dapat sepenuhnya lepas dari alat. Orang tua sudah habis-habisan, soalnya tak ditanggung perusahaan tempat kerja, karena penyebabnya kelainan bawaan. Akhirnya dengan sangat berat hati, meski sayang sekali dengan buah hati mereka, minta pasien dipulangkan. Sudah ditawarkan untuk alih rawat ke RS pemerintah, tapi untuk itu pun mereka sudah tak mampu. Duhhh … ingin nangis rasanya melihat ketabahan dan keikhlasan orang tuanya. Aku yang memasukkan pasien tersebut ke bangsal, beberapa kali melihat dan kontak dengannya saat jaga bangsal. Jangan tanya bagaimana perasaan ini.

Di bangsal lain, ada seorang bapak yang punya keluarga yang sangat menyayangi dan penuh perhatian padanya. Dia tidak berdaya dengan kanker ganas yang menggerogoti usus. Masa hidup sudah divonis tinggal beberapa bulan. Kesakitan hebat berulang kali, sampai harus masuk penghilang rasa nyeri yang paling kuat, morfin. Sebenarnya dia sudah dioperasi untuk mengangkat tumor, tapi menolak untuk dipasang anus buatan di perut. Ya itu hak dia, tapi masalah yang timbul kemudian, karena tumornya itu, risiko usus yang melengket berulang, akan sering terjadi. Dia kesakitan karena aliran dalam usus tidak berjalan semestinya, tidak bisa makan minum.

Di hari lain lagi, ada seorang ibu yang baru melahirkan anak ke-2. Anak yang pertama meninggal, anak ke-2 yang sangat diharapkan ternyata lahir cacat. Kedua kaki bengkok, lidahnya kecil cenderung jatuh ke belakang menutupi jalur makanan, kemungkinan akan sulit menghisap ASI dari payudara Sang Ibu, jadi pemberian minum susu harus dengan sendok sedikit demi sedikit, supaya tidak tersedak. Sepertinya ada kelainan di persarafan juga.

Di tempat yang berbeda, ada seorang laki-laki, masih berusia produktif, yang merusak hidupnya sendiri dengan memakai narkoba. Dia datang dengan mulut berjamur, demam tidak turun-turun, batuk lama, dll … kumpulan gejala yang biasa timbul pada pengidap HIV – AIDS.

Betapa ironis hidup ini. Di satu sisi ada orang yang harus berjuang hanya demi memperpanjang hidup, berusaha melewati masa-masa akhir hidupnya. Tapi terbentur masalah ekonomi, hanya bisa pasrah. Walau kenyataan pahit sudah menanti harus menghadapi vonis sisa waktu yang sudah jelas tergambar di depan mata. Di sisi lain, ada yang dengan begitu saja menyia-nyiakan anugerah kesehatannya, untuk kepuasan semu sesaat. Itulah hidup, banyak peristiwa di dalamnya yang sering tidak sejalan dengan apa yang kita harapkan. Aku bersyukur, dengan profesiku saat ini, diberi kesempatan untuk banyak belajar darinya.

Ada seorang rekan, saat kami jaga malam bersama, bercerita. Di salah satu sesi acara Mario Teguh beberapa waktu yang lalu, dia pernah membahas mengenai orang-orang yang karena tuntutan profesi, harus bekerja di malam hari. Di saat yang lain bisa tidur dengan nyenyak di peraduan. Mereka, yang sebenarnya juga mempunyai keluarga yang harus diurus, harus begadang merawat orang di RS, siap sedia menjaga keamanan, atau menerima panggilan bila ada kebakaran yang harus ditangani di suatu tempat. Mungkin selama ini tidak pernah terpikir di benak kita, kenapa kita yang harus menjalani hal ini, bukan orang lain? Pernahkah terpikir seharusnya kita bersyukur untuk hal ini, karena kita adalah orang terpilih, yang dipercaya mampu untuk menjalaninya. Selama ini seringkali kita mengeluh soal kerjaan, soal situasi kerja yang menyebalkan, tentang atasan atau bawahan yang nggak ngerti maunya gimana. Termasuk aku sendiri, juga masih sering seperti itu. Wah, seolah dihadiahi tamparan keras, diriku saat itu. Sadar, Mel !!!

Coba kalau kita mau melihat sisi positif dari tiap peristiwa yang terjadi, lebih banyak bersyukur atas yang sudah kita miliki saat ini. Banyak orang di luar sana yang boro-boro bisa menabung, bekerja mencari sesuap nasi saja belum tentu bisa. Boro-boro mau jalan-jalan, untuk berjalan saja belum tentu punya kaki, untuk melihat saja, belum tentu matanya nggak cacat. Untuk menjalani hidup seperti orang pada umumnya saja tidak bisa, karena sakit-sakitan. Makasih ya, pren, kamu sudah mengingatkanku kembali soal ini. Pembicaraan malam itu benar-benar berarti bagiku.

Batam, 30 Oktober 2009, jam 12.26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar