Sejak semalam Nanda sudah tidak bisa tidur. Dia terlalu gembira karena hari ini kami akan main ke Singapura. Negara tetangga ini memang sangat dekat dan dapat dicapai hanya dengan ferry selama satu jam dari Batam. Fiuuuhhh … akhirnya meski singkat, ada waktu buat pergi liburan dengan keluargaku.
Singapura merupakan kota yang rapi, bersih, aman, dan teratur. Mau jalan di malam hari sekali pun, kita tetap merasa aman, beda sekali dengan kota-kota besar di Indonesia pada umumnya. Agenda pertama kami begitu sampai di Harbour Front, sarapan. Yang murah masih dalam lingkungan pelabuhan tersebut, sekitar SGD 3,00-4,00, dengan porsi jumbo (baca porsi kuli hahaha …). Setelah itu baru memulai petualangan di sana.
Orang Singapura sangat berbeda dengan orang Indonesia. Kesan pertamaku, cuek. Rata-rata jalannya cepat sekali, tipe pekerja keras (sampai tua pun mereka tetap bekerja, berpenghasilan sendiri, tidak mau tergantung anak cucu), serius, sampai sering tanpa senyum (terutama terhadap orang asing), kebanyakan di kedua telinga nyangkut earphones i-pod (khas individualismenya), sandal jepit (ini salah satu yang kusesali tidak kupakai waktu jalan ke sana). Pasti jarang yang kena osteoporosis (tulang keropos tuanya) karena gerak jalan terus ke mana-mana sepanjang hari. Saking cueknya peluk dan ciuman di kereta pun cuek saja. Sangat tertib terutama saat mengantri ... sekali lagi ... kapan Indonesia bisa begitu? Mereka terdiri atas banyak ras, ada bule dari berbagai negara, Cina, India, Melayu, baik pendatang maupun penduduk asli sana.
Hari liburan seperti sekarang ini, banyak banget turis dari Indonesia. Terutama di pusat-pusat perbelanjaan, kayak orang Surabaya migrasi deh. Kemana-mana terdengar orang berbicara dengan bahasa Indonesia diselingi bahasa Jawa medok-nya yang khas hihihi …
Stasiun MRT (kereta listrik) sangat banyak dan besar. Terletak di bawah tanah, kadang saking dalamnya, kita sampai harus turun beberapa eskalator. Kita bisa ke mana-mana dengan membeli tiket langsung atau dengan kartu khusus dengan nominal tertentu, yang dapat diisi ulang. Membuat biaya perjalanan lebih murah, lebih cepat, tanpa ada kata macet dibanding kalau kita bepergian dengan kendaraan lain. Tanda penunjuk jalan dan jalur sangat jelas. Kita bisa berhenti di tempat terdekat dengan tujuan kita dan tidak takut tersesat.
Tujuan pertama langsung ke Science Centre. Bulan Maret yang lalu, kami sebenarnya sudah ke sana, tapi karena kurang pagi berangkat, tidak semua wahana bisa dilihat. Kali ini menyelesaikan yang tersisa. Dari pintu masuk, kami disambut berbagai objek tipuan mata. Di salah satunya kepala kita bisa terlihat seolah terhidang di atas meja, padahal itu bayangan cermin.
Omnimax terletak di ujungnya. Merupakan gedung pertunjukan film mirip seperti Keong Mas Jakarta. Tema kali ini tentang kehidupan macam-macam beruang. Layar filmnya ya kubah dari teater tersebut, membuatnya terlihat dalam bentuk tiga dimensi. Kita duduk dengan posisi setengah tidur, gelap, dingin. Hasilnya anak dan suamiku tidur nyenyak di dalam (berhubung semalam kurang tidur), hanya aku yang masih terjaga sambil terkantuk-kantuk sampai selesai. Padahal filmnya lumayan seru lho! Direkomendasikan buat yang insomnia (sulit tidur) hahaha.
Lanjut ke luar gedung, pindah ke Snow City di sebelahnya. Sebelum masuk ke lemari es raksasa, dengan membayar sedikit biaya tambahan, kami dapat menyewa baju hangat, celana panjang, sarung tangan tebal, dan sepatu. Ruangannya tidak terlalu besar, beratap sangat tinggi, ada tempat seluncur dengan menggunakan ban dalam yang landai. Kita harus berjalan naik melalui jalan kecil di pinggir luncuran tadi, yang dibatasi pagar kayu, sebelumnya. Aku dan Nanda meluncur sendiri, Ayahnya menunggu di bawah … kedinginan hihihi. Di dalam juga ada bar kecil, tempat kita bisa memesan minuman hangat atau es kacang … brrrr yang terakhir gratis kalau berani. Nanda senang sekali, masuk ke rumah eskimo kecil, main lempar-lemparan salju, apalagi waktu turun salju buatan. Dia menjulurkan lidah, walhasil lidahnya sakit sesudahnya.
Science Centre memang luas sekali areanya. Terdiri atas banyak ruangan yang membahas berbagai bidang ilmu, antara lain : fisika, biologi, kimia, matematika, manusia, binatang, tumbuhan, robotik, dll. Yang berkesan waktu kita melihat telur ayam yang sudah dierami selama dua puluh satu hari dengan pemanas buatan. Kita bisa melihat detik-detik saat anak ayam keluar dari cangkangnya secara langsung. Ada juga kotak untuk memelihara kecoak dari ukuran sekuku sampai yang sejempol orang dewasa … huek-huek, aku paling tidak menyukai bau khasnya yang menyengat. Kami juga sempat melihat percobaan dengan nitrogen cair. Pisang yang dalam keadaan normal dengan mudah bisa terbelah, setelah direndam dalam nitrogen cair, bisa dipakai memalu paku ke dalam kayu. Letuche menjadi seperti keramik, yang pecah berkeping-keping saat dibanting. Selang karet elastis, jadi sekeras batu, kembali ke bentuk semula setelah direndam air panas. Jangan coba-coba memegang cairan ini secara langsung tanpa sarung tangan khusus, karena tubuh kita yang mengandung air akan menjadi sekeras besi dibekukan olehnya …iron man.
Hari sudah gelap saat kami keluar dari sana. Dengan MRT menuju ke Hotel Furama di daerah Chinatown. Seorang teman merekomendasikannya sebelum berangkat … dan ternyata kamar mereka sudah penuh. Ini memang sedang liburan Lebaran dan sedang ada perlombaan F1. Duuuhhh … sambil berjalan gontai antara capai dan lapar, kami mencari taxi keluar hotel. Aku iseng bertanya ke petugas running boy, apakah ada tempat menginap lain yang bersih dan tidak mahal. Karma baik, dia menunjukkan Hotel 81 dekat situ. Waaahhh benar-benar bertemu malaikat penyelamat deh.
Selesai mandi membersihkan debu dan keringat yang menempel di badan sejak pagi, kami jalan-jalan di Chinatown. Serba merah khas pecinan, dihiasi banyak lampion. Jalan-jalan ini dulunya tempat tinggal, bekerja, dan bermain para imigran Cina awal di sana. Kanan kiri sekarang dipenuhi toko cindera mata dan tempat makan. Banyak orang berlalu lalang atau sekedar nongkrong di sana. Kami memilih ngobrol di salah satu resto sambil mengisi perut. Hmmm … lumayan kok, meski bumbunya nggak semantap masakan Malang hehe … Kubeli beberapa oleh-oleh cindera mata sebelum pulang. Kami sempat mendengarkan gadis cantik berpakaian dan dandan khas Cina sedang memainkan gu zheng, alat musik petik yang indah sekali suaranya ... jadi pengen belajar hihihi ... Paginya kami ke Chinatown Heritage Centre, di sana kita bisa mempelajari sejarah dan warisan pendatang Cina pertama di Singapura. Mulai dari melihat bentuk kamarnya, barang dan baju yang digunakan, budayanya, termasuk opera Cina yang dulu juga dimainkan oleh turun temurun keluarga suamiku … seru banget deh ! Seperti kembali ke masa lalu.
Salah satu yang paling kusuka dari Singapura, surga toko bukunya yang besar dan super lengkap. Bisa betah seharian main di sana, hanya untuk berburu buku. Biasanya kalau tidak mencari buku ketrampilan tangan (terutama crocheting, kesukaanku), aku (dan suami) ke bagian buku teks kedokteran. Nanda tentu saja ke bagian buku dongeng anak. Untung dia sekolah di sekolah internasional, dengan bahasa pengantar Inggris, Indonesia, dan Mandarin. Jadi dia tidak kesulitan membaca dan mengerti isi buku-buku di sana. Keluarga kami memang kutu buku.
Di Little India, pemberhentian berikutnya, merupakan pemukiman keturunan India Singapura. Mayoritas penganut Hindu. Di sana terdapat kuil Hindu, pusat sendratari Maya (yang sayangnya tidak buka saat itu), dan pasar.Tampak tempat puja Dewa Ganesha di depan beberapa toko, lengkap dengan dupa dan kalung rangkaian bunga segar. Dalam cuaca sangat terik siang itu, kami berjalan menyusurinya. Di sana banyak dijual bahan mentah segar dan bumbu khas India untuk kebutuhan sehari-hari, beberapa tempat makan masakan khas daerah tersebut. Beberapa toko menjual perlengkapan sembahyang, termasuk dupa yang wanginya luarrrrr biasa, sampai pening kepalaku dibuatnya. Ada juga kompleks penjualan perhiasan emas yang unik dan khas, serta kain-kain. Aku sebenarnya ingin tanganku digambar dengan hiena (tinta India yang baru bisa hilang setelah berminggu-minggu), tapi tidak ketemu tempat pelukisnya.
Setelah main selama dua hari di sana, kami pulang kembali ke Batam. Masih banyak tempat yang belum kami kunjungi, akan disambung lagi di petualangan berikutnya. Puas bisa main dan menikmati waktu berkualitas dengan keluarga, yang tidak setiap saat ada. Jalan terus sepanjang hari sampai kaki mau copot, sebanding dengan yang kudapat sebagai gantinya … kebersamaan. Keluarga tetap nomor satu. Sebagus apa pun karir kita, sebanyak apa pun materi yang kita dapat, semua tidak berarti kalau keluarga berantakan dan tanpa kasih sayang.
Batam, 24 September 2009, jam 01.26